Berita Ragam Kaltara
Filosofi “Ayam Belungis” Simbol Kekompakan Orang Tidung Kaltara
“Ayam Belungis” atau tikar pandan sangat memiliki makna atau filosofi yang tinggi dan diwariskan secara turun temurun kepada setiap orang Tidung, dimana suku Tidung ini merupakan salah satu sub suku asli Kalimantan (Borneo) yang banyak tersebar di Kalimantan Utara (Kaltara), Kepulauan Seribu Jakarta (Pulau Tidung) hingga ke Malaysia, Brunai dan semenanjung Filifina Selatan.
Untuk Warga Tidung, “Ayam Belungis” selain memiliki nilai filosofi, ia juga mempunyai nilai sakral, dan kerap digunakan saat acara nikahan hingga upacara adat.
Dimana Ayam Belungis biasanya digunakan sebagai alas duduk dengan lipatan kain khas suku Tidung yang diberi nama lipatan Raja Bersila untuk calon mempelai saat acara nikah. Juga sebagai tempat menaruh hantaran yang disebut suma dari calon pengantin laki-laki kepada keluarga calon pengantin perempuan.
Untuk melengkapi acara pengantenan, pada malam hari calon mempelai pria akan dipupur khusus oleh para tetua dengan iringan musik gambus serta ketipung. Ia juga wajib duduk diatas Ayam Belungis.
Mendapatkan Ayam Belungis yang berkualitas, tidak segampang yang dibayangkan, butuh beberapa proses lagi.
Mulai dari menebang daun pandan nya, membelah dengan alat yang disebut suku Tidung dengan sebutan Tuli, Dikaut untuk membuang serat kasar pada daun pandan, direndam dikeringkan, dibakar, diberi pewarna, hingga dianyam sesuaj ukuran yang dibutuhkan.
Nah pada saat menganyam Ayam Belungis ini lah para kaum ibu orang Tidung memberi nasehat kepada putera-puterinya, agar taat kepada orang tua, para sesepuh, menjunjung tinggi adat istiadat orang Tidung.
Termasuk adab dalam memilih calon pemimpin bagi orang Tidung Kala itu dengan moto “Intimung Taka Mikang Insuai Taka Tapu” Marat Ki Bais Ki Tatop Taka Ulun Pagun” Nyapul Ulun Taka Menduli”, yang artinya bersatu kita kuat bercerai kita lemah, jahat baik nya kita tetap orang Tidung, Kita harus bela dijalan kebaikan. ***
Penulis : Sahri.

Ragam Kaltara
Jaga Kedisiplinan Personil, Polda Kaltara Lakukan Pengecekan Kelengkapan Kendaraan

TANJUNG SELOR – Polda Kalimantan Utara, Dalam Upaya menjaga kedisplinan anggota di Polda Kaltara, Bidpropam dan Ditlantas Polda Kaltara laksanakan penegakkan ketertiban dan kedispilanan (Gaktibplin) Rabu(12/07/2023).
Dalam kegiatan tersebut anggota Provos dan Ditlantas Polda Kaltara melakukan pengecekan kelengkapan administrasi personel, pengecekan kendaraan bermotor pribadi maupun dinas yang dipergunakan oleh masing-masing anggota.
Kegiatan Gaktiblin ini merupakan bentuk pengawasan terhadap seluruh personil Polri serta merupakan tugas pokok dari personil Propam dan Ditlantas Polda Kaltara untuk mengecek kelengkapan dari kendaraan personil.
Di lakukannya penertiban di internal kepolisian terlebih dahulu sebelum kita menertibkan masyarakat, jadi kita selaku penegak hukum harus terlebih dahulu menunjukan ketertiban baik dari segi surat meyurat berupa SIM dan STNK kendaraan serta surat menyurat lainnya, serta harus menggunakan Helm yang SNI.
Pemeriksaan gaktiblin merupakan kegiatan rutin yang dilakukan untuk meningkatkan kedisiplinan anggota sebagai bentuk pengawasan internal kepada seluruh personil Polri sebagaimana perintah pimpinan.
Dari pelaksanan Gaktiblin rutin ini, diharapkan rekan-rekan personil dapat berdinas di Kepolisian dengan tetap mentaati aturan disiplin sesuai dengan peraturan yang berlaku. **.
Ragam Kaltara
Pengumuman Kehilangan
Ragam Kaltara
Mengenal dan Upaya Merawat Seni Budaya Ulun Belungon Kaltara

– Lebih dekat dengan Pengian Qamariah salah satu Budayawan Kabupaten Bulungan Kaltara
TANJUNG SELOR – Suku Bulungon atau Bulungan, sebenarnya sangat kaya akan asset berupa kesenian dan kebudayaan, sayangnya, beberapa diantaranya sudah jarang atau tak pernah lagi dimainkan oleh para seniman atau seniwatinya, sehingga ada beberapa diantaranya sudah tak lagi bisa ditampilkan lantaran tak ada lagi yang bisa memainkan nya.
Untuk menggali potensi itu, media ini berkesempatan mewawancarai ibu Pengian Qamariah, salah satu puteri almarhum Datu Azis Ibni Datu Perdana, seorang Budayawan Bulungan yang cukup dikenal dan terkenal diwilayah utara Republik Indonesia pada masanya, khususnya di Bulungan raya sebelum pemekaran kota Tarakan, Malinau, Tana Tidung dan Nunukan yang berpisah dari induknya Daerah Tingkat II Bulungan (Kabupaten Bulungan, red).
Menurut Ibu Pengian Qamariah, bila ada acara yang digelar dilingkungan keraton, biasanya terlebih dahulu selalu ditampilkan tari Jepen khas Bulungan, selanjutnya Jugit (Tarian) Paman dan Jugit Demaring.
“Dua seni tari ini yaitu Jugit Paman dan Jugit Demaring biasanya dimainkan didalam ruangan, bukan diluar ruangan dan kerap ditampilkan saat acara Kesultanan, “ ujar Pengian Qamariah.
Seni suara atau yang disebut Bedindeng juga ada, misalnya Dindeng Sayeng, Sulai Mambang dan Dindeng Sarung Kuku, membaca karangan, berbalas pantun, membaca syair-syair, kesemuanya ini juga selalu dimainkan pada masanya.
Suku Belungon (Bulungan} juga memiliki seni Beladiri, diantaranya, Bemancek. Bekuntow, Cabang (Trisula, red), Bebangkui dan Betembung sebuah seni beladiri yang menggunakan peralatan berupa tongkat, sayangnya seni ini sudah nyaris punah lantaran sudah jarang ditampilkan pada setiap kesempatan.
“Untuk seni beladiri Bemancek tersebut hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu, kerabat Kesultanan saja yang bisa melakukan nya. Saya sendiri juga mengetahuinya cukup terbatas, beruntung seni itu sempat diajarkan oleh almarhum bapak pada saya, “ ujarnya.
Satu seni tari yang benar-benar punah sebutnya, yaitu tari Belundi, sebuah tarian yang pernah diajarkan oleh Kakek Pengian Qamariah sendiri yaitu almarhum Datu Perdana. Adapun syair tarian ini menggunakan bahasa Kayan, lalu diperbaharui menggunakan Bahasa Bulungan yang sesekali diselingi dengan bahasa Indonesia.
“Seni tari Belundi ini juga biasa disebut dengan nama Belamud, untuk lagu yang dinyanyikan yaitu lagu “Pinang Sendawar”, “ kata Pengian Qamariah lagi.
Pengian Qamariah juga menegaskan, ada Sebagian budaya yang tak lagi terpelihara, misalnya acara tiga melam saat acara perkawinan yang dikenal dikalangan suku Belungon disebut telu malom, ini juga sudah jarang orang mengikutinya. Demikian pula sang Pengantin yang tak boleh menginjak tanah selama tiga hari juga sudah kerap dilanggar, padahal budaya ini punya arti tersendiri dan wajib dilestarikan oleh generasi sekarang.
Beruntung untuk Budaya Lampi Sapot atau acara naik ayunan bagi bayi, masih diikuti, namun sayangnya sekarang tak semua tahapan nya dilakukan.
Kenapa disebut Lampi Sapot atau batas, karena memang ada batas yang dibuat, dari batas yang disebut sapot itu bayi selanjutnya diangkat dengan jumlah orang sesuai strata masyarakatnya. Bila Cucu Sultan atau Kerabat nya orang yang mengangkat berjumlah 9 orang, dan 7 orang untuk bayi dari masyarakat biasa,
“Pada acara gunting rambut, naik ayunan atau Lampi Sapot ini dikumandangkan Sholawat Nabiullah Muhammad SAW, harapan nya agar sang bayi mendapat rahmat dan barokah dari Allah tuhan semesta alam dalam mengarungi kehidupan kelak dikemudian hari, “ jelas Pengian Qamariah.
Khusus bayi dari kerabat Sultan juga menggunakan kerajan, bayi laki-laki menggunakan kerajan laki dan kerajan perempuan untuk bayi perempuan.
Untuk pantangan (Pamali) bagi bayi sebelum dia bisa berjalan juga ada, dimana sang bayi tak boleh menginjak tanah secara langsung. Untuk menginjak tanah sibayi juga wajib terlebih dahulu menginjak sebongkah batu khusus atau besi, karena pilosofinya kelak setelah dewasa sibayi bisa teguh dan tegar dalam mengarungi badai kehidupan nya.
Budaya yang sangat sakral dan masih bertahan sampai saat ini adalah tepung tawar.
Untuk diketahui semua tahapan dan peralatan yang digunakan saat tepung tawar juga memiliki arti dan pilosofi tersendiri. Seperti menginjak batu harapan nya supaya kita memiliki tekad yang keras, meminum air dengan harapan supaya dingin dalam melaksanakan kegiatan, ada beras berwarna kuning yang memiliki arti atau melambangkan sebuah kemakmuran.
“Untuk tepung tawar ini juga dilantunkan Sholawat Nabi, dengan harapan akan mendapat sapaat dari beliau dan rahmat dari Allah SWT tuhan semesta alam, “ imbuh Pengian Qamariah.
Diakhir wawancara, Pengian Qamariah berharap generasi muda bisa terus menggali dan memelihara budaya suku Belungon ini. Jangan takut maju kedepan, bila kurang faham bertanya kepada yang masih mengetahui seni budaya tersebut.
Agar lestari, ia juga meminta kepada pemerintah untuk melakukan pembinaan secara berkelanjutan. supaya seni budaya suku Belungon warisan dimasa Kesultanan ini tetap lestari sepanjang masa.
“Seni dan budaya itu wajib kita jaga agar tidak punah dan bisa kita wariskan kepada generasi muda sebagai asset bangsa dan negara Republik Indonesia tercinta, “ tutup Pengian Qamariah. *
Reporter : Sahri.
-
DPRD Kaltara6 days ago
Mendesak Pemprov Tuntaskan Perbaikan Kerusakan Jalan KM 4 – Simpang Manis KTT
-
Pemkab Bulungan2 weeks ago
Syarwani : “Januari Penyebrangan Fery Ancam – Tarakan Kembali Beroperasi”
-
POLDA KALTARA2 weeks ago
Jaga Lingkungan Untuk Masa Depan, Polda Kaltara Gelar Kegiatan Penanaman Pohon
-
DPRD Kaltara1 week ago
Strategi Legislasi Perlu Berbasis Sistem Informasi Bapemperda