Berita Ragam Kaltara
“Titik Badan” Dan “Kutika” Isarat Sakral Orang Tidung Kaltara

“Titik Badan” adalah jenis suara atau isarat yang masih dipercaya oleh orang Tidung dibeberapa tempat apa bila berbunyi, baik untuk pertanda kebaikan maupun pertanda sebuah keburukan bila dilanggar.
Dimana suara “Titik Badan” dianggap sangat menentukan keberhasilan atau gagalnya suatu misi yang dilaksanakan. Baik misi berusaha untuk penghidupan keluarga, maupun ketika terjadinya perang Ayau atau Mengayaw tempo dulu sebelum adanya pemerintahan resmi, baik dimasa pemerintahan kesultanan atau raja-raja maupun sistem pemerintahan sekarang.
Bunyi “Titik Badan” yang baik adalah yang hanya berbunyi sekali atau dua kali. Namun bila suaranya sambung menyambung maka si yang empunya misi harus segera kembali berbalik kearah semula, karena bila dipaksakan dipercaya akan timbul musibah yang besar.
Tidak hanya suara “Titik Badan”, orang Tidung juga masih percaya dengan “Kutika” atau hitung-hitungan bila ingin bepergian untuk berusaha mencari penghidupan.
Biasanya setelah menghitung “Kutika” dengan hitungan bilangan tertentu, baik hari maupun jam keberangkatan sudah bisa terlihat sesuai ramalan, Kutika ini juga dianggap sangat menentukan sebuah keberhasilan.
Sesuai semboyan “Intimung Taka Tagas Insuai Taka Tapu” secara perlahan tapi pasti generasi muda Tidung kian mampu menjawab tantangan jaman melalui percepatan Sumber Daya Manusia (SDM) disegala bidang. *
Penulis : Sahri.

Ragam Kaltara
Pengumuman Kehilangan
Ragam Kaltara
Mengenal dan Upaya Merawat Seni Budaya Ulun Belungon Kaltara

– Lebih dekat dengan Pengian Qamariah salah satu Budayawan Kabupaten Bulungan Kaltara
TANJUNG SELOR – Suku Bulungon atau Bulungan, sebenarnya sangat kaya akan asset berupa kesenian dan kebudayaan, sayangnya, beberapa diantaranya sudah jarang atau tak pernah lagi dimainkan oleh para seniman atau seniwatinya, sehingga ada beberapa diantaranya sudah tak lagi bisa ditampilkan lantaran tak ada lagi yang bisa memainkan nya.
Untuk menggali potensi itu, media ini berkesempatan mewawancarai ibu Pengian Qamariah, salah satu puteri almarhum Datu Azis Ibni Datu Perdana, seorang Budayawan Bulungan yang cukup dikenal dan terkenal diwilayah utara Republik Indonesia pada masanya, khususnya di Bulungan raya sebelum pemekaran kota Tarakan, Malinau, Tana Tidung dan Nunukan yang berpisah dari induknya Daerah Tingkat II Bulungan (Kabupaten Bulungan, red).
Menurut Ibu Pengian Qamariah, bila ada acara yang digelar dilingkungan keraton, biasanya terlebih dahulu selalu ditampilkan tari Jepen khas Bulungan, selanjutnya Jugit (Tarian) Paman dan Jugit Demaring.
“Dua seni tari ini yaitu Jugit Paman dan Jugit Demaring biasanya dimainkan didalam ruangan, bukan diluar ruangan dan kerap ditampilkan saat acara Kesultanan, “ ujar Pengian Qamariah.
Seni suara atau yang disebut Bedindeng juga ada, misalnya Dindeng Sayeng, Sulai Mambang dan Dindeng Sarung Kuku, membaca karangan, berbalas pantun, membaca syair-syair, kesemuanya ini juga selalu dimainkan pada masanya.
Suku Belungon (Bulungan} juga memiliki seni Beladiri, diantaranya, Bemancek. Bekuntow, Cabang (Trisula, red), Bebangkui dan Betembung sebuah seni beladiri yang menggunakan peralatan berupa tongkat, sayangnya seni ini sudah nyaris punah lantaran sudah jarang ditampilkan pada setiap kesempatan.
“Untuk seni beladiri Bemancek tersebut hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu, kerabat Kesultanan saja yang bisa melakukan nya. Saya sendiri juga mengetahuinya cukup terbatas, beruntung seni itu sempat diajarkan oleh almarhum bapak pada saya, “ ujarnya.
Satu seni tari yang benar-benar punah sebutnya, yaitu tari Belundi, sebuah tarian yang pernah diajarkan oleh Kakek Pengian Qamariah sendiri yaitu almarhum Datu Perdana. Adapun syair tarian ini menggunakan bahasa Kayan, lalu diperbaharui menggunakan Bahasa Bulungan yang sesekali diselingi dengan bahasa Indonesia.
“Seni tari Belundi ini juga biasa disebut dengan nama Belamud, untuk lagu yang dinyanyikan yaitu lagu “Pinang Sendawar”, “ kata Pengian Qamariah lagi.
Pengian Qamariah juga menegaskan, ada Sebagian budaya yang tak lagi terpelihara, misalnya acara tiga melam saat acara perkawinan yang dikenal dikalangan suku Belungon disebut telu malom, ini juga sudah jarang orang mengikutinya. Demikian pula sang Pengantin yang tak boleh menginjak tanah selama tiga hari juga sudah kerap dilanggar, padahal budaya ini punya arti tersendiri dan wajib dilestarikan oleh generasi sekarang.
Beruntung untuk Budaya Lampi Sapot atau acara naik ayunan bagi bayi, masih diikuti, namun sayangnya sekarang tak semua tahapan nya dilakukan.
Kenapa disebut Lampi Sapot atau batas, karena memang ada batas yang dibuat, dari batas yang disebut sapot itu bayi selanjutnya diangkat dengan jumlah orang sesuai strata masyarakatnya. Bila Cucu Sultan atau Kerabat nya orang yang mengangkat berjumlah 9 orang, dan 7 orang untuk bayi dari masyarakat biasa,
“Pada acara gunting rambut, naik ayunan atau Lampi Sapot ini dikumandangkan Sholawat Nabiullah Muhammad SAW, harapan nya agar sang bayi mendapat rahmat dan barokah dari Allah tuhan semesta alam dalam mengarungi kehidupan kelak dikemudian hari, “ jelas Pengian Qamariah.
Khusus bayi dari kerabat Sultan juga menggunakan kerajan, bayi laki-laki menggunakan kerajan laki dan kerajan perempuan untuk bayi perempuan.
Untuk pantangan (Pamali) bagi bayi sebelum dia bisa berjalan juga ada, dimana sang bayi tak boleh menginjak tanah secara langsung. Untuk menginjak tanah sibayi juga wajib terlebih dahulu menginjak sebongkah batu khusus atau besi, karena pilosofinya kelak setelah dewasa sibayi bisa teguh dan tegar dalam mengarungi badai kehidupan nya.
Budaya yang sangat sakral dan masih bertahan sampai saat ini adalah tepung tawar.
Untuk diketahui semua tahapan dan peralatan yang digunakan saat tepung tawar juga memiliki arti dan pilosofi tersendiri. Seperti menginjak batu harapan nya supaya kita memiliki tekad yang keras, meminum air dengan harapan supaya dingin dalam melaksanakan kegiatan, ada beras berwarna kuning yang memiliki arti atau melambangkan sebuah kemakmuran.
“Untuk tepung tawar ini juga dilantunkan Sholawat Nabi, dengan harapan akan mendapat sapaat dari beliau dan rahmat dari Allah SWT tuhan semesta alam, “ imbuh Pengian Qamariah.
Diakhir wawancara, Pengian Qamariah berharap generasi muda bisa terus menggali dan memelihara budaya suku Belungon ini. Jangan takut maju kedepan, bila kurang faham bertanya kepada yang masih mengetahui seni budaya tersebut.
Agar lestari, ia juga meminta kepada pemerintah untuk melakukan pembinaan secara berkelanjutan. supaya seni budaya suku Belungon warisan dimasa Kesultanan ini tetap lestari sepanjang masa.
“Seni dan budaya itu wajib kita jaga agar tidak punah dan bisa kita wariskan kepada generasi muda sebagai asset bangsa dan negara Republik Indonesia tercinta, “ tutup Pengian Qamariah. *
Reporter : Sahri.
Ragam Kaltara
Hamparan Rawa Dan Lahan Gambut Tanjung Selor Sekarang Pusat Kota

– Sudah ada bangunan 3 hingga 5 lantai dibangun dibekas lahan rawa tersebut
Tanah rawa berlumpur (gambut) ?, ternyata hampir semua lahan yang ada di Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara, merupakan hamparan nya, namun saat ini semuanya sudah berubah menjadi pusat perkotaan, berbagai bentuk bangunan sudah tumbuh bahkan ada yang terdiri dari 4 hingga 5 lantai.
Sesuai penuturan beberapa warga, hamparan lahan rawa kala itu mulai dari jalan Pahlawan, Skip 1, Skip 2 hingga kantor Polres sekarang. Siapa menyangka saat ini perumahan dengan berbagai bentuk berjejer disana, artinya untuk membangun lahan rawa atau gambut bukan sebuah masalah.
Dimana dilahan dimaksud, sekarang dibangun hotel dan perkantoran, seperti crown, gedung SMA N, Kantor Gabungan Dinas dan kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Utara.
Dilahan dimaksud, sekarang juga sudah dibangun hotel dan perkantoran, seperti hotel crown, gedung SMA N, Kantor Gabungan Dinas dan kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Utara.
Sedangkan diareal lahan rawa dan gambut lainnya dulunya juga merupakan hamparan yang luas dan cukup dalam itu ada disepanjang jalan Sengkawit hingga tugu telur pecah, sekarang.juga saat ini disana sudah sukses dibangun pasar induk, Kampus Unikaltar dan bangunan-bangunan lain nya.
Untuk membangun dilahan rawa yang berlumpur (gambut) dan dalam, dengan sistem perencanaan mode konstruksi sekarang bukanlah sebuah masalah yang rumit, dengan menggunakan paku bumi maka ketahanan sebuah bangunan sudah bisa dijamin, semakin banyak paku bumi digunakan maka semakin tinggi bangunan yang bisa dibangun. *
Penulis : Sahri.
-
Tana Tidung1 week ago
Menjelang Ramadhan 1444 H, DPRD KTT Minta Pemkab Segera Cairkan TPP ASN
-
Tana Tidung1 week ago
KTT Kekosongan BBM, Aktifitas Warga Nyaris Lumpuh
-
DPRD Kaltara7 days ago
Fenry Alpius Angggota DPRD Kaltara Bertemu Petani Malinau
-
Kaltara2 weeks ago
Jalan Perbatasan, Pelabuhan Sebawang KTT dan Malinau Dibangun Tahun Ini